Laman

Selasa, 20 Desember 2011

Potret Perempuan Bali:



TRI SEMAYA HUKUM ADAT BALI:
POTRET PERKEMBANGAN HAK PEREMPUAN BALI DALAM HUKUM KELUARGA[1]

Oleh: I Ketut Sudantra[2]

1. Pendahuluan

SENGAJA tulisan ini diberi judul ”Tri Semaya Hukum Adat Bali: Potret Perkembangan Hak Perempuan Bali dalam Hukum Keluarga”. Konsep Tri Semaya (atita=masa lalu, nagata=masa kini, dan wartamana=masa depan) digunakan untuk menegaskan bahwa Hukum Adat Bali bukanlah hukum yang statis, hanya mengikuti tradisi turun temurun ”mula keto” (tradisional) yang tidak bisa berubah. Sebaliknya, sebagaimana karakter hukum adat pada umumnya, Hukum Adat Bali sesungguhnya juga mempunyai sifat yang dinamis dan fleksibel, di samping sifatnya yang tradisional itu[3]. Walaupun nilai-nilai hukum adat Bali diwarisi dari nenek moyang orang Bali secara turun temurun, seiring dengan perjalanan waktu, ia selalu mengalami perubahan mengikuti perubahan yang berkembang di dalam masyarakat. Tingkat perubahan itu bisa berlangsung secara cepat, pelan-pelan, atau sangat pelan sehingga nyaris tidak dirasakan. Perubahan-perubahan tersebut bisa terjadi karena sesungguhnya hukum adat Bali itu lahir, tumbuh, berkembang di dalam masyarakat mengikuti kebutuhan hukum dan rasa keadilan masyarakat Bali itu sendiri. Ketika kebutuhan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat Bali berubah, maka norma-norma hukum adat akan berubah pula dengan sendirinya. Nilai-nilai lama mungkin saja tetap dipertahankan tetapi norma-normanya dimodifikasi, atau bisa juga nilai-nilainya mengalami perubahan sehingga norma-normanya juga berubah, bahkan mungkin saja ditinggalkan. Dengan demikian hukum adat yang lama (kuna dresta) akan mati dengan sendirinya.
Sebagaimana kalimat orang bijak: ”tidak ada yang abadi di dunia ini, yang abadi justru perubahan itu sendiri”, Bali pun tidak luput dari perubahan itu, bahkan belakangan ini dirasakan semakin spektakuler sebagai akibat dari ”tsunami” globalisasi. Dalam merespon perubahan, masyarakat Bali memang telah mempunyai filter yang sudah terbukti kehandalannya dalam mengharmonikan nilai-nilai baru yang dibawa perubahan tersebut dengan kondisi tempat, waktu dan keadaan (desa, kala, patra) namun perubahan tersebut haruslah tetap dikawal dengan pemikiran-pemikiran kritis. Pikiran-pikiran kritis tersebut bisa digunakan untuk mengawal perubahan tersebut agar tidak kebablasan, bahkan adakalanya pikiran kritis tersebut dapat digunakan untuk mengawali perubahan agar perubahan berjalan ke arah yang diinginkan. Itulah sebabnya dalam seminar ini saya ingin mengajak para pakar untuk mendiskusikan perkembangan Hukum Adat Bali dalam tiga dimensi waktu: masa lalu (atita), masa sekarang (nagata), dan terutama arahnya di masa depan (wartamana). Mau ke mana hukum adat Bali di bawa di masa depan? Mari kita diskusikan bersama.
Sesuai tema seminar: ”Perempuan dalam Budaya, Adat dan Teologi Hindu”, maka diskusi difokuskan pada perkembangan hak-hak perempuan Bali dalam hukum keluarga. Sebagai pengantar diskusi, berikut akan dicoba diberikan ilustrasi mengenai perkembangan hak-hak perempuan Bali dalam hukum adat, dengan terlebih dahulu menjelaskan pengertian dan lingkup hukum keluarga, serta pondasi hukum keluarga menurut Hukum Adat Bali.

2. Pengertian dan Lingkup Hukum Keluarga
Dalam pengertian luas, hukum keluarga tidak hanya meliputi hubungan antara anak orang tua dan kerabat, melainkan meliputi lapangan hukum yang lebih luas, yaitu perkawinan dan pewarisan. Dengan ruang lingkup seperti itu maka hukum keluarga dapat didifinisikan sebagai keseluruhan norma-norma hukum, tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan hubungan kekeluargaan, baik yang diakibatkan oleh hubungan darah maupun yang diakibatkan oleh suatu perbuatan hukum tertentu.
Hubungan hukum adalah hubungan yang berisi hak dan kewajiban. Dengan demikian, yang dimaksud dengan hubungan hukum kekeluargaan adalah hubungan yang berisi hak dan kewajiban antara orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga. Pada umumnya hubungan hukum kekeluargaan ditimbulkan oleh adanya hubungan darah, seperti yang terjadi antara anak kandung dengan orang tua kandungnya. Tetapi mesti diingat, hubungan darah tidak selalu menimbulkan hubungan hukum kekeluargaan, seperti yang terjadi antara anak luar kawin (Bali: bebinjat) yang tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayah biologisnya. Sebaliknya, hubungan hukum kekeluargaan tidak selamanya hanya terjadi karena adanya hubungan darah. Perbuatan-perbuatan hukum tertentu dapat menimbulkan hubungan hukum kekeluargaan yang isinya sama dengan hubungan hukum kekeluargaan yang diakibatkan oleh hubungan darah. Pengangkatan anak dan perkawinan adalah contoh untuk hubungan kekeluargaan yang tidak diakibatkan oleh hubungan darah. Dalam pengangkatan anak, seorang anak yang tidak mempunyai hubungan darah dengan orang tua angkatnya dapat diikat dalam suatu hubungan hukum kekeluargaan yang isinya sama dengan hubungan antara anak kandung sah dengan orang tua kandungnya. Demikian juga dengan hubungan perkawinan. Dua orang yang sebelumnya tidak berhubungan darah diikat dalam suatu ikatan perkawinan di mana terbentuk hubungan kekeluragaan yang menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum keluarga.

3. Prinsip-prinsip Dasar dalam Hukum Keluarga
Sistem kekeluargaan yang dianut oleh suatu masyarakat sangat berpengaruh dalam menentukan hubungan-hubungan hukum kekeluargaan, perkawinan dan pewarisan. Yang dimaksudkan dengan sistem kekeluargaan adalah sistem yang menyangkut cara menarik garis keturunan dalam suatu keluarga. Derajat hubungan antara seorang anak dengan orang tua serta kerabatnya sangat ditentukan oleh sistem kekeluargaan ini. Pada masyarakat Jawa yang bersistem kekeluargaan parental, hubungan antara anak dengan kedua orang tuanya beserta kerabatnya mempunyai derajat yang sama. Hal itu berbeda dengan masyarakat Minangkabau yang matrilineal atau masyarakat Bali yang patrilineal. Pada masyarakat Minangkabau, keturunan dilacak dari garis ibu. Menurut hukum adat setempat, seorang anak hanya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ibunya, sedangkan ayah tetap berstatus dalam lingkungan keluarganya sendiri. Pada masyarakat Bali yang bersistem patrilineal (Bali: purusa), derajat hubungan antara seorang anak dengan orang tua memang sama, tetapi derajat hubungan dengan kerabat dari pihak ayah dan pihak ibu berbeda. Seorang anak hanya mempunyai hubungan hukum dengan kerabat (paman, bibi, kakek, nenek) dari pihak ayah, sedangkan dengan kerabat dari pihak ibu sama sekali tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan. Hubungan-hubungan yang terjadi antara seorang anak dengan kerabat dari pihak ibunya hanyalah hubungan-hubungan yang bersifat sosial dan moral saja.
Paling tidak terdapat tiga prinsip dasar dalam sistem kekeluargaan purusa[4].  Pertama, keturunan dilacak dari garis laki-laki (ayah). Berdasarkan prinsip ini, seorang anak hanya meneruskan garis keturunan dari pihak ayah, sehingga yang masuk dalam silsilah keluarga seorang anak adalah individu-individu yang termasuk dalam keluarga pihak ayah saja.  Prinsip kedua, dalam perkawinan biasa, seorang istri dilepaskan hubungan hukum kekeluargaannya dengan keluarga asalnya untuk selanjutnya masuk dalam lingkungan keluarga suaminya (istri ikut suami). Dengan demikian, tanggungjawab hukum (hak dan kewajiban) seorang anak perempuan di keluarga asalnya (orang tuanya dan kerabatnya) berakhir sejak dilaksanakannya upacara mepejati (banyak pihak menyebut: mepamit) di tempat persembahyangan keluarga(sanggah/merajan)  asalnya dan selanjutnya melaksanakan tanggungjawabnya sekala niskala  (lahir bathin) sebagai istri di lingkungan keluarga suaminya. Dalam bentuk perkawinan biasa ini, si suami berstatus sebagai purusa sedangkan istri berstatus sebagai pradana. Kondisi berbeda terjadi pada perkawinan nyeburin di mana si istri yang sudah ditingkatkan statusnya sebagai sentana rajeg yang berstatus sebagai purusa, sedangkan si suami berstatus sebagai pradana yang dilepaskan hubungan hukum kekeluargaannya dengan keluarga asalnya. Kondisi ”meninggalkan tanggungjawab dalam keluarga” inilah yang lazim disebut sebagai ninggal kedaton[5] yang berimplikasi pada putusnya hak mewaris seorang anak yang kawin keluar atau diangkat anak oleh orang lain, sebab dalam hukum adat Bali pewarisan pada prinsipnya berisi hak dan kewajiban sekala niskala (lahir bathin) dalam keluarga. Prinsip ketiga dalam sistem kekeluargaan purusa adalah konskwensi dari dua prinsip di atas, yaitu anak yang lahir dari suatu perkawinan yang sah menjadi ”milik” keluarga dari pihak purusa.

4. Hak-hak Perempuan Bali
Dari pemahaman akan prinsip-prinsip sistem kekluargaan purusa inilah dapat dilihat hak-hak perempuan Bali dalam hukum keluarga, di masa lalu, sekarang, dan perspektif pada masa yang akan datang. Berbicara mengenai hak perempuan dalam hukum keluarga, orang umumnya hanya terfokus pada hak waris, di mana tampak hak antara laki-laki dan perempuan terbalik seratus depalan puluh derajat derajat. Sesungguhnya, di luar hak waris terdapat hak-hak perempuan yang patut mendapat perhatian, seperti: hak untuk memilih jodoh, hak-haknya dalam perkawinan ataupun setelah setelah perceraian, terutama menyangkut anak dan harta perkawinan.

4.1.      Hak Perempuan Bali Terhadap Harta Keluarga
Harta keluarga dilihat dari asalnya dapat meliputi: harta yang bersumber dari warisan orang tua (harta warisan; Bali: tetamian), harta yang di bawa oleh masing-masing ke dalam perkawinan, baik karena hasil usaha sendiri ataupun pemberian orang tua (harta bawaan, Bali: tetatadan), harta yang bersumber dari hadiah perkawinan, dan harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung (harta bersama; Bali: pagunakaya). Hak-hak perempuan Bali terhadap masing-masing jenis harta itu dalam perkembangannya mengalami perubahan-perubahan yang bervariasi.

a. Hak Perempuan Terhadap Harta Ketika Masih Gadis
Di masa lalu, hak perempuan Bali terhadap harta memang sangat lemah. Jangankan terhadap harta warisan di mana sejak dulu hingga sekarang perempuan belum diakui sebagai ahli waris terhadap harta peninggalan orang tuanya, bahkan terhadap harta yang diperolehnya sendiri pun kedudukan perempuan di masa lalu sangatlah lemah. Saking lemahnya kedudukan perempuan saat itu, terkesan bahwa sosok perempuan bukanlah subyek hukum (pendukung hak dan kewajiban) melainkan hanyalah dipandang sebagai obyek hukum di mana perempuan dianggap sebagai ”milik”. Ketika masih gadis perempuan adalah milik ayahnya, ketika kawin ia adalah milik suaminya. Ketika seseorang adalah milik pihak lainnya, maka apapun yang melekat padanya (termasuk harta) adalah milik dari orang yang memiliki orang itu. Dipikir dengan perspektif masa kini, nilai-nilai dan norma hukum seperti itu sepertinya mustahil, tetapi itu adalah suatu kenyataan di masa lampau. Sebuah keputusan pengadilan di Singaraja berangka tahun 1942 dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan bahwa  seorang anak perempuan berikut hartanya dikuasai oleh orang tuanya karena itu perhiasan dirinya pun tidak boleh dibawa kawin[6]. Bahkan sebelumnya, di tahun 1932  tercatat sebuah keputusan pengadilan di Karangasem yang menghukum seorang anak perempuan untuk mengembalikan sejumlah uang kepada ayahnya yang ia bawa kawin[7]. Kini, nilai-nilai dan norma hukum demikian telah ditinggalkan. Tidak sedikit perempuan yang di masa gadisnya bekerja di sektor nafkah mampu menabung dan membawa hartanya ke dalam perkawinan sebagai harta bawaan (akaskaya).
b. Hak Perempuan Bali Terhadap Harta Warisan
Mengenai kedudukan perempuan terhadap harta warisan, sejak dulu sampai saat ini the facto perempuan bukanlah sebagai ahli waris. Anak perempuan hanya berhak untuk memanfaatkan dan menikmati harta orang tuanya untuk nafkah hidupnya selama ia belum kawin ke luar. Tetapi di akhir tahun 2010 lalu Majelis Desa Pakraman Bali melakukan terobosan yang sangat progresif. Melalui sebuah Keputusan Pesamuan Agung III Majelis Utama Desa (MDP) Pakraman Bali  Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 tertanggal 15 Oktober 2010, telah diputuskan, antara lain:
(1)       Anak kandung (laki-laki dan perempuan) serta anak angkat (laki-laki dan perempuan) berhak atas harta gunakaya orang tuanya, sesudah dikurangi sepertiga sebagai druwe tengah (harta bersama), yang dikuasai (bukan dimiliki) oleh anak yang nguwubang (melanjutkan swadharma atau tanggung jawab) orang tuanya.
(2)       Anak yang berstatus sebagai kapurusa berhak atas satu bagian dari harta warisan, sedangkan yang berstatus pradana/ninggal kedaton terbatas berhak atas sebagian atau setengah dari harta warisan yang diterima oleh seorang anak yang berstatus kapurusa[8].
Terlepas dari masih adanya penolakan beberapa kalangan terhadap putusan ini, banyak pihak (terutama dari pegiat kesetaraan gender) berharap putusan ini membuka pintu bagi perubahan kedudukan perempuan Bali terhadap harta warisan di dalam hukum adat Bali di masa depan kearah kedudukan yang berkeadilan gender.

c. Hak Perempuan Bali Terhadap Harta Selama Perkawinan Berlangsung
Belum ditemukan cukup catatan yang memadai untuk menyimpulkan apa yang terjadi di masa lampau mengenai kedudukan seorang perempuan terhadap harta selama perkawinan berlangsung. Tetapi apabila dilihat kedudukan perempuan yang bukan sebagai ahli waris, dapat diduga bahwa akses dan kontrol perempuan terhadap harta perkawinan juga lemah. Dugaan itu didasarkan atas argumentasi berikut. Pertama, perempuan bukan ahli waris. Perempuan juga tidak dapat membawa harta yang diperolehnya selama masih gadis ke dalam perkawinan. Jika kontribusi perempuan tidak ada (nihil) terhadap pembentukan harta perkawinan maka akses dan kontrol terhadap harta itu pun akan menjadi lemah. Hal itu sekaligus membuat perempuan berada pada posisi yang lemah untuk bisa mengambil manfaat yang maksimal terhadap harta tersebut.
Dewasa ini, kondisinya sudah jauh lebih baik. Secara normatif kedudukan yang seimbang antara suami dan istri terhadap harta selama perkawinan berlangsung telah dijamin oleh hukum negara. Dalam Undang-undang Perkawinan terdapat pasal-pasal yang menjamin hal itu, seperti Pasal 31 yang menyebutkan:
(1)       Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2)       Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Berkaitan dengan kedudukan suami istri terhadap harta bersama, Undang-undang Perkawinan dengan tegas menyebutkan bahwa mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (Pasal 36).
Asas hukum yang termuat dalam Undang-undang Perkawinan di atas telah diadopsi dalam Keputusan Pesamuan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali, dengan menyatakan bahwa ”Selama dalam perkawinan, suami dan istrinya mempunyai kedudukan yang sama terhadap harta gunakaya-nya (harta yang diperoleh selama dalam status perkawinan)”[9].

d. Hak Perempuan Bali terhadap Harta dalam Hal Terjadi Perceraian
Dengan ditegaskannya kedudukan suami istri yang seimbang antara suami dan istri terhadap harta gunakaya selama perkawinan berlangsung, maka hal itu akan membawa pengaruh yang sigifikan apabila terjadi perceraian. Di masa lalu, ketika Pengadilan Kerta (Raad Kertha) masih berlaku, putusan hakim mengenai masalah harta setelah perceraian sangat merugikan kaum perempuan (bekas istri). Ketika itu, hakim hanya memberi hak atas harta benda perkawinan kepada bekas istri apabila nyata-nyata yang bersalah sebagai penyebab perceraian itu adalah pihak suami, sedangkan apabila yang bersalah adalah istri, maka ia sama sekali tidak berhak atas bagian harta[10]. Asas hukum yang dianut oleh Pengadilan Kerta sejak pra kemerdekaan itu masih dianut oleh hakim beberapa lama setelah kemerdekaan bahkan setelah Pengadilan Kertha dibubarkan (1951) dan digantikan oleh Pengadilan Negeri. Tahun 1960 sebuah Putusan Pengadilan Negeri Singaraja masih memutuskan bahwa istri diberi bagian atas pagunakaya karena memang terbukti si suami dianggap bersalah daslam perceraian itu[11].
Tampaknya asas hukum yang dijadikan landasan oleh hakim dalam memutus kedudukan harta setelah perceraian adalah asas yang dianut dalam Kitab Poerwa Agama yang dijadikan ”buku saku” oleh hakim di jaman Raad Kertha. Pasal 101 Poerwa Agama menyebutkan sebagai berikut:
”Janmane belas makoerenan sapadroewenya jogja pah tiga; jan saking moeani mamelasin, polih kalih doeman, iloeh polih adoeman. Jan saking iloeh mamelasin, tan wenang poelih doeman; maka sami jogja kadroewe antoek sane moeani
(terjemahan bebas: Orang yang bercerai, hartanya dibagi tiga. Jika yang laki-laki yang menyebabkan perceraian, ia dapat dua bagian, yang perempuan satu bagian. Jika yang menyebabkan perceraian adalah pihak perempuan, ia tidak dapat bagian, semua harta dimiliki oleh yang laki-laki)
Jaman  berganti, nilai-nilai keadilan dalam masyarakat pun berubah. Sejak 1969 tidak ditemukan lagi putusan-putusan pengadilan yang menggunakan faktor (pihak) penyebab perceraian sebagai dasar untuk menentukan hak bekas suami dan bekas istri dalam pembagian harta. Sepanjang dapat dibuktikan bahwa harta yang dijadikan sengketa itu adalah harta bersama (pagunakaya) maka Pengadilan selalu memutuskan bahwa bekas suami dan bekas istri masing-masing mendapat  hak yang sama terhadap harta tersebut[12]. Tampaknya asas-asas yang terkandung dalam  Undang-undang Perkawinan (1974) terkait dengan kedudukan suami istri terhadap harta benda perkawinan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap hakim Pengadilan Negeri di Bali dalam hal memutus sengketa harta benda perkawinan sebagai akibat terrjadinya perceraian.
Sikap pengadilan yang progresif bagi keadilan gender tersebut telah diadopsi pula oleh Pesamuan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali, dengan memutuskan bahwa: ”Masing-masing pihak (bekas suami dan bekas istri, tambahan dari penulis) berhak atas pembagian harta gunakaya (harta bersama dalam perkawinan) dengan prinsip pedum pada (dibagi sama rata)”[13]

4.2.      Hak Perempuan Bali Yang Bercerai terhadap Anak
Di atas sudah dijelaskan mengenai hak perempuan Bali yang bercerai terhadap harta benda perkawinan. Belakangan ini, seiiring dengan semakin meningkatnya kasus-kasus perceraian di Bali, semakin sering pula timbul sengekta mengenai hak asuh anak. Bagaimanakah hukum adat Bali memandang hak perempuan yang bercerai terhadap anak?
Konsisten terhadap sistem kekeluargaan purusa, anak adalah penerus keturunan garis ayah. Dengan demikian, anak adalah hak keluarga purusa, di mana si anak menunaikan hak dan kewajiban pada keluarga ayahnya. Sementara itu, seorang perempuan bercerai tidak lagi menjadi anggota keluarga purusa si anak, karena sejak perceraian tersebut ia telah putus hubungan hukum kekeluargaannya dengan keluarga bekas suaminya. Dengan begitu, putus pula hubungan hukum kekeluargaannya dengan si anak. Itulah prinsip hukum adat Bali yang dianut sejak dulu, walaupun atas dasar alasan kemanusiaaan demi kepentingan si anak, sejak dulu pula terjadi bahwa anak yang masih bayi ketika orang tuanya bercerai dapat saja diasuh oleh ibunya untuk sementara waktu[14]. Namun demikian, anak yang terlalu lama meninggalkan keluarga si ayah untuk tinggal bersama ibunya dapat dijadikan alasan untuk menggugurkan statusnya sebagai ahli waris dalam keluarga ayahnya.
Sebagian masyasarakat Bali –terutama yang peduli terhadap nasib perempuan dan anak merasa bahwa norma hukum adat seperti di atas tidak adil bagi si ibu dan anak. Ketika tokoh-tokoh adat di Bali berkumpul dalam Pesamuan Agung III Majelis Desa Pakraman di mana aktivis-aktivis perempuan dan perlindungan anak juga hadir sebagai peninjau, persoalan ini menjadi topik pembahasan sehingga Pesamuan akhirnya memutuskan sebagai berikut: ”Setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa[15]


4.3.    Hak Perempuan Memilih Jodoh Secara Bebas
a. Terbelenggu karena menghindari perkawinan nyerod
Hak perempuan yang sering luput dari perhatian adalah hak yang sama dengan laki-laki dalam memilih suami. Pasal 16 ayat (1) Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap perempuan yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI melalui Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tanggal 24 Juli 1984. Pelaksanaan hak ini pada masa lalu banyak mengalami kendala terutama ketika masih kuatnya adat perkawinan perjodohan (kajangkepang) ataupun kawin paksa (amelagandang, kaejuk). Dewasa ini cara-cara perkawinan kajangkepang dan amelegandang bukanlah jamannya lagi karena di samping bertentangan dengan hukum negara (KUHP) cara-cara perkawinan tersebut sudah lama ditinggalkan oleh masyarakat bali karena memang tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai yang dianggap patut oleh masyarakat. Namun demikian, bukan berarti lalu hak perempuan Bali memilih suami secara bebas sudah terimplemntasi dengan baik tanpa kendala sama sekali.
Di kalangan kebanyakan perempuan Bali tampaknya hak memilih suami secara bebas sudah terpenuhi tanpa adanya kendala. Tetapi pada sebagian masyarakat terutama yang masih fanatik terhadap masalah kasta kekebasan tersebut masih menemui kendala, karena sangat dihindari terjadinya perkawinan nyerod, yaitu perkawinan antara perempuan dengan kasta lebih tinggi dengan laki-laki yang kastanya lebih rendah. Dalam kondisi demikian, semakin tinggi kasta seorang perempuan Bali semakin sedikit ”habitat”nya dalam memilih suami.
Di masa lalu, perkawinan nyerod  tidak hanya dihindari, melainkan merupakan suatu perkawinan terlarang. Sejak jaman kerajaan hingga tahun 1951 berlaku larangan perkawinan yang lazim dikenal dengan istilah ”asu pundung” dan ”alangkahi karang hulu [16], suatu larangan perkawinan antara perempuan yang berkasta lebih tinggi dengan laki-laki dengan kasta yang lebih rendah. Awalnya hukuman bagi pasangan yang melanggar larangan ini adalah hukuman mati dengan ditenggelamkan hidup-hidup di laut  dengan memberi pemberat pada tubuh korban (disebut hukuman lebok atau labuh batu). Pemerintahan kolonial Belandalah yang kemudian berjasa mengubah sanksi yang tidak berperikemanusaiaan ini.  Melalui Paswara Residen Bali dan Lombok Tahun 1910  hukuman lebok diganti dengan hukuman pembuangan seumur hidup (selong) di luar Bali, kemudian pada tahun 1927 melalui Paswara Residen Bali dan Lombok Nomor 352 JI.C.2 tertanggal 11 April 1927 hukuman yang ditetapkan tahun 1910 diperingan lagi menjadi hukuman buang selama 10 tahun di wilayah Bali[17].
Walaupun secara yuridis formal larangan perkawinan asu pundung dan alangkahi karang hulu telah dihapus melalui Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951, namun nilai-nilai yang mendasari larangan tersebut secara sosiologis masih membekas pada sikap sebagian masyarakat Bali. Beberapa fakta sosial yang mencerminkan masih dianutnya nilai dan sikap demikian antara lain tampak dari penolakan sebagian orang terhadap konsep mepadik (meminang) bila laki-laki jaba mengambil istri seorang perempuan triwangsa[18] dan masih dilakukannya upacara patiwangi bagi perempuan triwangsa yang kawin nyerod.
Upacara patiwangi yang secara harfiah berarti: ”menggugurkan keharuman/kehormatan”, mempunyai makna simbolik untuk menurunkan kasta perempuan yang kawin nyerod sehingga menjadi sederajat dengan kasta suaminya, dengan begitu tidak sederajat lagi dengan kasta keluarga asalnya. Penurunan derajat kewangsan (kasta) ini tidak terlalu menjadi persoalan bagi si perempuan selama perkawinannya berlangsung kecuali berkait dengan hubungannya dengan keluarga asalnya yang tidak sama seperti dulu lagi, seperti soal: parid keparid, sumbah kesumbah, sor singgih basa. Tetapi menjadi persoalan yang sangat berat jika perempuan tersebut kemudian bercerai dengan suaminya. Kemana perempuan itu pulang? Menyikapi persoalan psikologis dan sosiologis di atas, Pesamuan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali dengan tegas memutuskan bahwa ”Upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi terkait dengan upacara perkawinan”. Dalam Lampiran Keputusan Pesamuan Agung III tersebut dijelaskan latar belakang keputusan ini bahwa upacara patiwangi dalam perkawinan nyerod bertentangan dengan hak asasi manusia dan menimbulkan dampak ketidaksetaraan kedudukan perempuan dalam keluarga, baik selama perkawinan maupun sesudah perceraian[19].

b. Terbelenggu jika sentana rajeg yang sulit jodoh
Masalah hak perempuan untuk memilih suami secara bebas bertalian pula dengan bentuk perkawinan. Awalnya, dalam masyarakat adat Bali hanya dikenal satu bentuk perkawinan yang sekarang lazim dikenal dengan ”perkawinan biasa” (istri ikut suami). Hal ini konsisten dengan sistem kekeluargaan purusa. Dalam perkembangannya kemudian dikenal bentuk perkawinan nyeburin di mana seorang anak perempuan kawin kaceburin oleh laki-laki yang kemudian masuk sebagai pradana di rumah perempuan yang berstatus sentana rajeg.  Awal dikenalnya sentana rajeg ini dapat dilacak ketika jaman Kerajaan Bali, raja mewajibkan tiap-tiap anggota desa sebagai pemegang tanah pecatu menjadi pekerja wajib ke Puri Raja (ayahan kedalem), untuk menghindari ”hak camput raja”, kemudian Raja membolehkan satu keluarga yang hanya mempunyai anak perempuan untuk menjadikan anak perempuannya itu sebagai sentana (penerus keturunan) untuk mempertahankan ayahan kedalem-nya itu. Itu sebabnya, sampai sekarang bentuk perkawinan nyeburin itu hanya dikenal dan diterima umum pada daerah-daerah di mana dahulu berlaku hak camput raja, yaitu Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, dan Klungkung[20]. Di Kerajaan Tabanan, misalnya, syarat-syarat menjadikan anak perempuan sebagai sentana (selanjutnya dienal dengan istilah: sentana rajeg) tertuang dalam Peswara  Raja Tabanan bertahun Icaka 1807 atau 1885 Masehi[21].
Dikaitkan dengan hak-hak perempuan, banyak orang sudah cukup puas dengan dimungkinkannya anak perempuan ditetapkan sebagai sentana rajeg, karena dengan itu kedudukan anak perempuan ditingkatkan sama seperti kedudukan anak laki-laki: penerus keturunan dan sebagai ahli waris. Tetapi orang lupa, adakalanya ”jabatannya” sebagai sentana rajeg membuat anak perempuan itu menjadi terbelenggu haknya karena tidak leluasa dalam memilih calon suami karena di jaman kesuksesan program Keluarga Berencana di Bali sekarang ini mulai susah menemukan laki-laki yang bersedia untuk kawin nyeburin.
Menjadi persoalan kemudian, apabila dua insan manusia berlainan jenis saling jatuh cinta sementara masing-masing adalah anak tunggal dikeluarganya. Mereka dihadapkan pada dua pilihan (kawin biasa atau nyeburin) yang sama-sama tidak bisa dipilihnya. Menghadapi persoalan ini keluarga yang ”kebrebehan” seperti ini rupanya mencari dan memilih jalannya sendiri tanpa mengacu kepada hukum adat  (dresta) yang sudah berlaku. Penelitian Wayan P. Windia dan kawan-kawan di awal tahun 2008[22]–di mana saya ikut dalam tim peneliti bersama-sama anggota Pershada (Perhimpunan Dosen Hukum Adat) Bali lainnya, menemukan 28 pasangan yang memilih model perkawinan yang kemudian lazim disebut perkawinan pada gelahang. Temuan perkawinan pada gelahang ini tersebar hampir di semua kabupaten/kota di Bali, kecuali di Bangli.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, faktor utama yang melatarbelakangi pasangan pengantin dan keluarganya melangsungkan perkawinan pada gelahang adalah kekhawatiran warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya –baik yang berwujud  material maupun immaterial, tidak ada yang mengurus dan meneruskannya. Dalam hukum adat Bali, warisan tidak hanya menyangkut hak (swadikara) terhadap harta, melainkan juga menyangkut kewajiban (swadharma), seperti kewajiban memelihara orang tua di masa tua; kewajiban meneruskan generasi; kewajiban melaksanakan penguburan atau upacara ngaben terhadap jenasah orang tua yang telah meninggal, kewajiban terhadap roh leluhur yang bersemayam di sanggah/merajan (tempat persembahyangan keluarga), dan kewajiban-kewajiban kemasyarakatan, seperti melaksanakan kewajiban kepada kesatuan masyarakat hukum adat (banjar/desa pakraman/subak) di mana keluarga itu menjadi anggotanya. Menurut hukum adat Bali, pengabaian terhadap swadharma tersebut dapat dijadikan alasan untuk menggugurkan status seseorang sebagai ahli waris. Dari hasil penelitian tersebut terungkap pula bahwa pada dasarnya proses dilangsungkannya perkawinan pada gelahang hampir sama dengan perkawinan biasa atau nyeburin. Perbedaannya terletak pada adanya kesepakatan kedua mempelai dan keluarganya yang dibuat sebelum terjadinya perkawinan bahwa kedua pihak sepakat melaksanakan perkawinan pada gelahang, yang intinya menegaskan bahwa perkawinan dilangsungkan dengan maksud agar keluarga kedua belah pihak sama-sama memiliki keturunan yang nantinya diharapkan dapat mengurus dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, baik yang berupa kewajiban (swadharma)maupun yang berupa hak (swadikara).  Bentuk dan isi kesepakatan tersebut bervariasi, tetapi umumnya sudah dibicarakan dan disepakati ketika proses memadik (lamaran) dilakukan yang disaksikan perwakilan keluarga besar masing-masing dan prajuru adat (kepala adat).
Hasil penelitian ini kemudian menimbulkan sikap pro dan kontra dalam masyarakat, sementara bentuk perkawinan pada gelahang semakin banyak terjadi. Akhirnya, menyikapi fenomena tersebut Majelis Desa Pakraman Bali mengakui keberadaan perkawinan pada gelahang melalui Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali Nomor 01/Kep/PSM-3/MDP Bali/X/2010 tentang Hasil-hasil Pesamuhan Agung III MDP Bali, dengan menyatakan sebagai berikut: ”Bagi calon pengantin yang karena keadaannya tidak memungkinkan melangsungkan perkawinan biasa atau nyeburin (nyentana), dimungkinkan melangsungkan perkawinan pada gelahang atas dasar kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan”[23].
Secara legal formal, bentuk perkawinan pada gelahang ini sudah diakui sebagai bentuk perkawinan yang sah dalam masyarakat Bali oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung. Melalui Keputusan Mahkamah Agung Nomor 1331 K/Pdt./2010 tertanggal 30 September 2010, Mahkamah Agung menyatakan hukum bahwa perkawinan dengan status sama-sama purusa adalah sah menurut hukum[24]. Keputusan Mahkamah Agung ini adalah putusan kasasi dari kasus perdata yang sebelumnya diadili di Pengadilan Negeri Denpasar tahun 2008 mengenai gugatan seorang ibu tiri terhadap pasangan suami-istri yang dalam akte perkawinannya dinyatakan sama-sama berstatus sebagai purusa[25]
Apabila bentuk perkawinan pada gelahang ini benar-benar sudah diterima oleh masyarakat, maka hak perempuan Bali untuk memilih suami secara bebas benar-benar sudah tidak menemui kendala yuridis maupun sosiologis.

5. Penutup
Demikian potret hak-hak perempuan Bali dalam perspektif hukum adat di masa lampau, kini dan prospeknya di masa depan. Beberapa hal yang ingin ditegaskan kembali sebagai penutup tulisan ini adalah sebagai berikut:
(1)       hukum adat Bali di mana hak-hak perempuan juga diatur adalah hukum yang dinamis, selalu berubah mengikuti kebutuhan hukum dan rasa keadilan masyarakat sesuai perkembangan jaman. Hukum adat dapat berubah secara alami melalui perubahan tingkah laku hukum warga masyarakat, dan juga bisa diubah secara sengaja  melalui peraturan-peraturan hukum (law is a tool of a social engineering), baik melalui hukum yang dibuat oleh Negara (peraturan perundang-undangan dan keputusan hakim) ataupun yang dibuat oleh masyarakat hukum adat itu sendiri (awig-awig, pararem);
(2)       bebarapa norma hukum adat Bali di bidang hukum keluarga yang mengatur hak-hak perempuan telah mengalami perubahan ke arah kesetaraan dan keadilan gender;
(3)       Keputusan Pesamuan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali yang di dalamnya mengubah norma-norma hukum adat Bali terkait hak-hak perempuan cukup progresif memberi arah bagi perkembangan hukum adat Bali di masa depan, namun masih perlu disosialisasikan dan dinternalisasikan di masyarakat, baik dilingkungan praktisi hukum (hakim, notaris, pengacara), lingkungan tokoh-tokoh adat dan agama, serta masyarakat luas. Masih panjang jalan menuju kondisi di mana jiwa Keputusan Pesamuan tersebut benar-benar menjadi pola perilaku nyata masyarakat Bali.









DAFTAR BACAAN

Dijk R.van, 1979, Pengantar Hukum Adat Indonesia (terjemahan A. Soehardi), Sumur Bandung.

Jiwa Atmaja, 2008, Bias Gender Perkawinan Terlarang Pada Masyarakat Bali, Udayana University Press, Denpasar.

Panetja Gde, 1986, Aneka Catatan tentang Hukum Adat Bali, CV Kayumas, Denpasar.

Korn VE, 1978, Hukum Adat Kekeluargaan di Bali, terjemahan dan catatan-catatan oleh I Gede Wayan Pangkat, Biro Dokumentasi dan Publikasi Hukum Fakultas Hukum & Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana, Denpasar.

Mahkamah Agung, 2010, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1331 K/Pdt./2010 tanggal 30 September 2010.

Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali, Himpunan Hasil-hasil Pesamuan Agung III MDP Bali.

Pasek Diantha, 2003, “Studi tentang Sinkronisasi Nilai Tradisional Bali dengan Nilai Hukum Negara”, Majalah IlmuHukum Kertha Patrika, Vol. 28 No 2, Juli 2003.

Sudantra I Ketut, 2006, “Isu Gender Pada Perceraian di dalam Hukum Adat Bali”, Jurnal Studi Gender Srikandi, Vol VI No 1 Tahun 2006.

Sudantra I Ketut, 2007, ”Asupundung dan Alangkahi Karang Hulu: Ketidakadilan Gender dalam Sistem Wangsa”, Jurnal Studi Gender Srikandi, Vol. VII Nomor 2 Th 2007.

Windia Wayan P dan I Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi FH Unud.

Windia Wayan P,dkk., 2009, Perkawinan Pada Gelahang di Bali, Udayana University Press, Denpasar.



[1] Makalah disampaikan pada seminar  dengan tema: ”Perempuan dalam Budaya, Adat, dan Teologi Hindu”, yang diselenggarakan oleh Program Studi Magister (S2) Brahma Widya Program Pascasarjana IHDN Denapsar, di Denpasar, tanggal 21 Desember 2011.
[2] Penulis adalah dosen pengajar mata kuliah Hukum Adat Bali  dan mata kuliah Gender dalam Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. Kini menjabat sebagai Sekretaris Pusat Studi Wanita dan Perlindungan Anak (PSW&PA) Unud; Pengurus Harian Majelis Utama Desa Pakraman Bali
[3] Bandingkan dengan van Dijk, 1979, Pengantar Hukum Adat Indonesia (terjemahan A. Soehardi), Sumur Bandung, h. 10
[4] Lihat lebih lanjut dalam Wayan P Windia dan I Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi FH Unud, h.79.
[5] Dalam Keputusan Pesamuan Agung Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor 01/Kep/PSM-3/MDP Bali/X/2010 dijelaskan makna ningal kedaton, yaitu diartikan sebagai orang yang meninggalkan tanggung jawab keluarga, sehingga tidak berhak atas harta warisan keluarga. Ninggal kedaton ini dibedakan antara ninggal kedaton terbatas dan ninggal kedaton penuh. Orang yang ninggal kedaton terbatas adalah orang yang meninggalkan keluarga asalnya karena kawin ke luar atau diangkat anak oleh keluarga lain di mana dalam batas-batas tertentu masih memungkinkan melaksanakan swadharma (kewajiban) secara sekala dan niskala sebagai umat Hindu di rumah keluarga asalnya; sedangkan disebut ninggal kedaton penuh adalah orang yang benar-benar meninggalkan swadharmanya secara sekala dan niskala sebagai umat Hindu  di keluarganya, misalnya karena pindah agama dari agama Hindu. Lihat Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali, Himpunan Hasil-hasil Pesamuan Agung III MDP Bali, h. 42.
[6] Putusan Pengadilan Kertha Singaraja Nomor 15/Sipil tanggal 11-5-1942, dalam Gde Panetja, 1986, Aneka Catatan tentang Hukum Adat Bali, CV Kayumas, Denpasar, h. 151.
[7] Putusan Pengadilan Kerta Karangasem Nomor 185/1932, dalam Gde Panetja, ibid.
[8] Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali, op.cit., h.43
[9] Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali, op.cit., h. 43.
[10] Putusan Raad Kertha Karangasem Nomor 12/Civ. Tanggal 13-10-1938; Putusan Raad Kerta Denpasar Nomor 63/Civiel tanggal 18-9-1939; Putusan Raad Kerta Gianyar Nomor 7/Sipil tanggal 19-6-1942. Lihat: Gde Panetja, op.cit. h. 152-153..
[11] Lihat: Gde Panetja, op.cit., 152
[12] Uraian lebih mendalam mengenai topik ini dapat dilihat dalam: I Ketut Sudantra, 2006, “Isu Gender Pada Perceraian di dalam Hukum Adat bali”, Jurnal Studi Gender Srikandi, Vol VI No 1 Tahun 2006, h. 38-40.
[13] Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali, op.cit., h. 47.
[14] Gde Panetja menyatakan bahwa Pengadilan-pengadilan Adat  (Raad Kertha) di Bali  biasanya menyerahkan anak-anak yang masih bayi untuk sementara waktu diasuh  ibunya hingga si bayi itu mencapai umur satu sampai satu setengah tahun hingga si anak bisa dipisahkan dari ibunya. Lihat Gde panetja, op.cit., h. 211.
[15] Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali, op.cit., h.47
[16] Jiwa Atmaja menjelaskan bahwa secara harfiah asu pundung dapat diartikan ”menggendong anjing(asu)” yang menggambarkan seorang perempuan (berkasta) yang menggendong anjing; sedangkan alangkahi karang hulu berarti ”melompati kepala” dengan pengertian bahwa laki-laki sudra yang mengawini perempuan ksatria atau waisya dianggap melakukan perbuatan melangkahi ”wailayah sakral’ (karang hulu) perempuan berkasta itu, yang pada gilirannya melangkahi kasta perempuan  yang dianggap lebih tinggi itu. Lihat: Jiwa Atmaja, 2008, Bias Gender Perkawinan Terlarang Pada Masyarakat Bali, Udayana University Press, Denpasar, h. 148-149; Dalam Keputusan DPRD Bali Nomor 11 disebutkan pengertian asu pundung dan alangkahi karang hulu. Asu pundung adalah perkawinan antara perempuan brahmana wangsa dengan laki-laki dari golongan kstaria wangsa (kecuali ksatria dalem), waisya, dan sudra wangsa; sedangkan alangkahi karang hulu adalah perkawinan antara perempuan ksatria wangsa dengan laki-laki waisya dan sudra wangsa atau antara perempuan waisya wangsa dengan laki-laki sudra. Lihat: I Ketut Sudantra, 2007, ”Asupundung dan Alangkahi Karang Hulu: Ketidakadilan Gender dalam Sistem Wangsa”, Jurnal Studi Gender Srikandi, Vol. VII Nomor 2 Th 2007, h.5.
[17] Jiwa Atmaja, op.cit., h. 159
[18] Pasek Diantha, 2003, “Studi tentang Sinkronisasi Nilai Tradisional Bali dengan Nilai Hukum Negara”, Majalah IlmuHukum Kertha Patrika, Vol. 28 No 2, Juli 2003., h.86.
[19] Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali, op.cit., h. 45-46.
[20] Lihat: VE Korn, 1978, Hukum Adat Kekeluargaan di Bali, terjemahan dan catatan-catatan oleh I Gede Wayan Pangkat, Biro Dokumentasi dan Publikasi Hukum Fakultas Hukum & Pengetahuan Masyarakat Universitas Udayana, Denpasar, h. 90-93.
[21] Ibid., h.75.
[22] Hasil penelitian yang semula berjudul: “Studi  Pendahuluan Pelaksanaan Perkawinan Pada Gelahang di Bali” (2008), ini  kemudian diterbitkan dalam bentuk buku yang mendapat sambutan pro-kontra dalam masyarakat.. Lihat Wayan P. Windia, 2009, Perkawinan Pada Gelahang di Bali, Udayana University Press, Denpasar.
[23] Majelis Utama  Desa Pakraman  (MDP) Bali, op.cit., h. 46.
[24] Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 1331 K/Pdt./2010 tanggal 30 September 2010.
[25] Lihat Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor  273/PDT.G/2008/PN.Dps termuat dalam Lampiran buku Wayan P.Windia, op.cit., h.176.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar