Laman

Kamis, 29 September 2011

Sains dan Agama Hindu


 SAINS DALAM PERSPEKTIF HINDU
 Oleh I Ketut Sudantra

ABSTRAK
Sepanjang sejarah sains, hubungan sains dan agama mengalami pasang surut. Kini, beberapa ilmuwan mulai berupaya mencari kemitraan yang konstruktif di antara keduanya. Mereka merasakan perlunya sistesis antara sains dan kearifan agama-agama di dunia untuk menjawab banyak permasalahan hidup yang kompleks.  Dalam perspektif Hindu, sains pada hakekatnya merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Kuasa –bahkan sains adalah pewujudan Tuhan itu sendiri, yang dapat mencipta (Brahma), memelihara (Wisnu), dan memusnahkan (Siwa) segala yang ada di jagatraya ini. Tujuan sains adalah untuk kesejahteraan umat manusia lahir dan bathin, sehingga sains haruslah diabdikan dengan cara bekerja sesuai profesi masing-masing di bawah tuntunan  Dharma (kebenaran abadi).
 Kata kunci: Religiusitas, Sains, Agama, Hindu.


”Kawikanan mamunahang, pangering tambete sami, sakancan laraning jagat, yadin mala ngebek gumi, kawikanan nglebur sami, wireh wikane puniku, panglukatan pabresihan, miwah pangentase jati, iku tuhu, sariran Sang Hyang Wisesa”[1]
(Ilmu pengetahuan melenyapkan, penghapus seluruh kebodohan, seluruh penderitaan dunia, walaupun bencana memenuhi dunia, ilmu pengetahuan menghancurkan semua, sebab ilmu pengetahuan itu, penebus dan pembersih, juga penghapus dosa sejati, itu sesungguhnya, tubuh Tuhan Yang Maha Kuasa)

Kalimat di atas adalah kutipan sebuah bait dalam Geguritan Sucita yang dilantunkan dengan tembang atau Pupuh Sinom. Walaupun Geguritan bukanlah kitab suci Hindu, tetapi Geguritan dapat dipandang sebagai perwujudan citarasa penciptanya dalam memahami nilai-nilai keagamaan yang dianutnya. Di kalangan umat Hindu di Bali, Geguritan sering dipakai sebagai media untuk mentrasformasikan nilai-nilai keagamaan yang ada dalam berbagai kitab-kitab suci Hindu, dengan bahasa yang bisa dipahami oleh umat Hindu kebanyakan. Petikan pada (bait) Geguritan Sucita di atas sengaja di kemukakan di awal tulisan ini untuk mengantarkan pembaca bahwa ada pemahaman lain tentang sains, selain pemahaman sains Barat yang umumnya sekuler. 
Memang harus diakui bahwa sains Barat yang sekuler masih sangat mendominasi dunia sains sampai saat ini. Dominasi sains Barat itu, telah mengalami perjalanan sejarah yang sangat panjang, hampir separuh dari peradaban dunia.  Sejak abad ke-18 perkembangan sains dan teknologi di dunia Barat demikian pesat ditandai dengan kehadiran revolusi industri yang dijiwai oleh roh Renaissance dan Aufklarung. Seperti diketahui, zaman Renaissance adalah zaman yang didukung oleh cita-cita untuk melahirkan kembali manusia yang bebas, yang tidak terbelenggu oleh zaman abad tengah yang dikuasai oleh gereja atau agama. Manusia bebas ala Renaissance adalah manusia yang tidak lagi terikat oleh otoritas tradisi, sstem gereja, dan sebagainya, kecuali otoritas yang ada pada masing-masing diri pribadi. Manusia bebas ala Renaissance itu kemudian “didewasakan” oleh zaman Aufklarung, yang ternyata telah melahirkan sikap mental manusia yang percaya akan kemampuan diri sendiri atas dasar rasionalitas dan sangat optimis untuk menguasai masa depannya, sehingga manusia menjadi kreatif dan inovatif. Ada daya dorong yang mempengaruhi perkembangan sains dan teknologi  Barat, yaitu pandangan untuk menguasai alam, sehingga tiada hari tanpa hasil kreasi dan iniovasi.  Sejak itulah dunia Barat telah tinggal landas mengarungi cakrawala sains yang tiada bertepi. Tujuannya hanya satu, yaitu menaklukkan dan menguasai alam demi kepentingan “kesejahteraan hidupnya”. Hasilnya, adalah sains dan teknologi supra modern seperti yang dimiliki dunia sekarang[2].
Belakangan, sebagian ilmuwan tampaknya mulai skeptis terhadap paradigma sains Barat yang sekuler ini. Kegelisahan ini disebabkan oleh fakta,  bahwa di tengah-tengah gemuruhnya kemajuan sains dan teknologi sekarang ini, mata masyarakat dunia mulai terbuka dan dihadapkan kepada kenyataan bahwa sains Barat yang sekuler, disamping tidak mampu menjawab semua pertanyaan, ternyata juga telah gagal mewujudkan kesejahteraan umat manusia lahir bathin. Keangkuhan sains Barat untuk menguasai dan menaklukkan alam justru telah menimbulkan berbagai bencana bagi umat manusia yang belum ditemukan solusinya.  Dengan senjata ilmu pengetahuan dan teknologi modern ciptaan sains Barat sekuler, umat manusia memang telah berhasil “menguasai dan menaklukkan” alam untuk mewujudkan segala kemudahan, kesenangan, dan “kesejahteraan hidup” umat manusia. Dengan teknologi super modern, manusia memang seolah-olah telah mampu mengakali, bahkan “menyamai” kekuasaan Tuhan.  Manusia telah mampu menduduki bulan, menciptakan sarana komunikasi dan transportasi modern, sehingga manusia dapat menjadi “maha tahu” apapun yang terjadi di dunia hanya dengan memutar televisi, mengakses internet dikomputer atau handphone, dan sebagainya. Tetapi dibalik segala kemajuan tersebut, apa yang terjadi? Sebagai akibat  keangkuhan sains Barat sekuler yang mengabaikan nilai-nilai religiousitas, nilai-nilai Ketuhanan, dunia dihadapkan oleh bermacam-macam bencana, baik bencana alam maupun sosial, seperti  terjadinya krisis ekologi yang luar biasa menyerang dunia dari banyak arah[3], pemanasan global dan perubahan iklim, degradasi moral yang mengakibatkan peningkatan kwalitas dan kwantitas berbagai penyakit sosial, seperti kriminalitas, prostitusi, sex bebas yang mengakibatkan HIV/AIDS, dan sebagainya.
Kegelisahan dan skeptisme terhadap Sains Barat Sekuler itu mendorong beberapa ilmuwan mulai menoleh kepada paradigma lain, yaitu paradigma religiusitas sains, suatu paradigma yang berupaya mempertemukan rasionalitas sains Barat dengan religiusitas yang dimiliki oleh agama-agama dunia. Sebagian ilmuwan mulai melirik hal-hal di luar jangkauan indra manusia, yang ada dalam pengetahuan transcendental, seperti Weda, Bible, Quran, dan sebagainya[4].  T.D. Sings, misalnya, seorang saintis dari the University of California, Irvine, USA, menyebutkan bahwa banyak ilmuwan dan teologis telah mempertimbangkan dalam-dalam mengenai hubungan antara sains dan spritualitas (religiusitas). Mereka merasakan perlunya sistesis antara keduanya untuk menjawab banyak permasalahan hidup yang kompleks. Menurutnya, banyak pemikir hebat juga terilhami secara mendalam dengan memusatkan perhatian mereka kepada sistesis ini[5].
 Problemnya sekarang adalah kebenaran sains dan agama justru berawal dari kutub yang berbeda. Kebenaran sains berawal dari keragu-raguan terhadap suatu fenomena, sebaliknya kebenaran agama bersumber dari suatu keyakinan akan sabda Tuhan. Bahkan sejarah telah mencatat, bagaimana pergulatan antara sains dan agama telah diwarnai oleh perdebatan, keringat, darah, bahkan nyawa[6]. Dalam kondisi demikian, mungkinkah sains dan agama dapat dipertemukan? Untuk mengkaji isu sentral ini, maka dalam tulisan ini akan di kaji mengenai hubungan antara sains dan agama dalam perkembangan sejarah, kemudian akan ditunjukkan mengenai konsep Hindu tentang sains menyangkut hakekat, tujuan, dan penerapan sains. Mengingat bahwa Hindu sesungguhnya merupakan konsep keagamaan yang sangat luas yang di dalamnya terdapat banyak sekte dengan banyak sekali kitab suci[7], maka secara jujur diakui bahwa tulisan ini tidaklah mungkin dapat mengkaji sains dari sudut pandang  “Hinduisme “ yang sangat luas itu.  Dengan demikian sangat terbuka adanya persfektif Hindu yang lain tentang sains dari apa yang tersaji dalam tulisan ini.

BACA SELENGKAPNYA DALAM: 

I Ketut Sudantra, 2010, "Religiousitas Sains dalam Perspektif Hindu", dalam: Sutoyo et.al, Religiousitas Sains Meretas Jalan Menuju Peradaban Zaman (Diskursus Filsafat Ilmu), Sulusi LPP SDM bekerjasama dengan UB Press, Malang, hlm. 148-164


·  HUBUNGAN ANTARA SAINS DAN AGAMA

·  SAINS DALAM PERSPEKTIF HINDU 
  • Hakikat Sains: Perwujudan Tuhan Yang Maha Kuasa
  • Tujuan Sains: Mewujudkan Kesejahteraan Lahir-bathin
  • Penerapan Sains: Bekerja dengan Dilandasi Dharma





[1] Ida Ketut Jlantik, 1982, Geguritan Sucita I, CV Kayumas Agung, hlm.46.
[2] Koento Wibisono, 1992, “Dampak Teknologi Terhadap Kebudayaan”, dalam Rusli M Karim dan Ridjal Fausi (ed): Dinamika Ekonomi dan Iptek dalam Pembangunan, Tiara Wacana, Yogyakarta, hlm.104
[3] Mary Evelyin Tucker & John A Grim, 2003, Agama, Fil;safat, & Lingkungan Hidup,  Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hlm. 7.
[4] T.D. Singh, 2004, Tujuh Peraih Nobel Tentang sains dan Spritualitas (alih bahasa: I Gusti Ngurah Pranawa), Yayasan Institut Bhaktivedanta Indonesia, hlm. 12.
[5] Ibid., hlm.15.
[6]Sejarah, misalnya,  mencatat bahwa pada abad ke-17 Galileo disiksa dan nyaris diganjar hukuman mati oleh pihak gereja yang mengutuk pemikiran-pemikiran baru Galileo tentang alam semesta. Lihat Made Wardhana, dalam T.D.Sings, op.cit., hlm. 12.
[7]Menurut Robert C. Zaehner, “Hindu” adalah kata Parsi untuk “India”, sehingga menurutnya “Hinduisme” adalah isme dari India. Dikatakannya, Hinduisme merupakan suatu kesatuan keagamaan yang luas dengan ikatan yang tidak erat. Lihat: Robert C. Zaehner, 1992, “Kebijaksanan Dari Timur, Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme”, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.ix-xi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar