SAINS DALAM PERSPEKTIF HINDU
Oleh I Ketut Sudantra
ABSTRAK
Sepanjang sejarah sains, hubungan sains dan agama mengalami pasang surut.
Kini, beberapa ilmuwan mulai berupaya mencari kemitraan yang konstruktif di
antara keduanya. Mereka merasakan perlunya sistesis antara sains dan kearifan
agama-agama di dunia untuk menjawab banyak permasalahan hidup yang kompleks. Dalam perspektif Hindu, sains pada hakekatnya
merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Kuasa –bahkan sains adalah pewujudan Tuhan itu
sendiri, yang dapat mencipta (Brahma),
memelihara (Wisnu), dan memusnahkan (Siwa) segala yang ada di
jagatraya ini. Tujuan sains adalah untuk kesejahteraan umat manusia lahir dan
bathin, sehingga sains haruslah diabdikan dengan cara bekerja sesuai profesi
masing-masing di bawah tuntunan Dharma (kebenaran abadi).
Kata kunci: Religiusitas, Sains,
Agama, Hindu.
”Kawikanan mamunahang, pangering tambete
sami, sakancan laraning jagat, yadin mala ngebek gumi, kawikanan nglebur sami, wireh
wikane puniku, panglukatan pabresihan, miwah pangentase jati, iku tuhu, sariran
Sang Hyang Wisesa”[1]
(Ilmu pengetahuan melenyapkan, penghapus
seluruh kebodohan, seluruh penderitaan dunia, walaupun bencana memenuhi dunia, ilmu
pengetahuan menghancurkan semua, sebab ilmu pengetahuan itu, penebus dan
pembersih, juga penghapus dosa sejati, itu sesungguhnya, tubuh Tuhan Yang Maha
Kuasa)
Kalimat di atas adalah kutipan sebuah bait dalam Geguritan Sucita yang dilantunkan dengan
tembang atau Pupuh Sinom. Walaupun Geguritan bukanlah kitab suci Hindu,
tetapi Geguritan dapat dipandang
sebagai perwujudan citarasa penciptanya dalam memahami nilai-nilai keagamaan
yang dianutnya. Di kalangan umat Hindu di Bali, Geguritan sering dipakai sebagai media untuk mentrasformasikan
nilai-nilai keagamaan yang ada dalam berbagai kitab-kitab suci Hindu, dengan
bahasa yang bisa dipahami oleh umat Hindu kebanyakan. Petikan pada (bait) Geguritan Sucita di atas sengaja di kemukakan di awal tulisan ini
untuk mengantarkan pembaca bahwa ada pemahaman lain tentang sains, selain
pemahaman sains Barat yang umumnya sekuler.
Memang harus
diakui bahwa sains Barat yang sekuler masih sangat mendominasi dunia sains
sampai saat ini. Dominasi sains Barat itu, telah mengalami perjalanan sejarah
yang sangat panjang, hampir separuh dari peradaban dunia. Sejak abad ke-18 perkembangan sains dan
teknologi di dunia Barat demikian pesat ditandai dengan kehadiran revolusi
industri yang dijiwai oleh roh Renaissance
dan Aufklarung. Seperti diketahui,
zaman Renaissance adalah zaman yang
didukung oleh cita-cita untuk melahirkan kembali manusia yang bebas, yang tidak
terbelenggu oleh zaman abad tengah yang dikuasai oleh gereja atau agama.
Manusia bebas ala Renaissance adalah
manusia yang tidak lagi terikat oleh otoritas tradisi, sstem gereja, dan
sebagainya, kecuali otoritas yang ada pada masing-masing diri pribadi. Manusia
bebas ala Renaissance itu kemudian
“didewasakan” oleh zaman Aufklarung,
yang ternyata telah melahirkan sikap mental manusia yang percaya akan kemampuan
diri sendiri atas dasar rasionalitas dan sangat optimis untuk menguasai masa
depannya, sehingga manusia menjadi kreatif dan inovatif. Ada daya dorong yang mempengaruhi
perkembangan sains dan teknologi Barat,
yaitu pandangan untuk menguasai alam, sehingga tiada hari tanpa hasil kreasi
dan iniovasi. Sejak itulah dunia Barat
telah tinggal landas mengarungi cakrawala sains yang tiada bertepi. Tujuannya hanya satu, yaitu menaklukkan
dan menguasai alam demi kepentingan “kesejahteraan hidupnya”. Hasilnya, adalah sains dan teknologi supra
modern seperti yang dimiliki dunia sekarang[2].
Belakangan, sebagian
ilmuwan tampaknya mulai skeptis terhadap paradigma sains Barat yang sekuler
ini. Kegelisahan ini disebabkan oleh fakta,
bahwa di tengah-tengah gemuruhnya kemajuan sains dan teknologi sekarang
ini, mata masyarakat dunia mulai terbuka dan dihadapkan kepada kenyataan bahwa
sains Barat yang sekuler, disamping tidak mampu menjawab semua pertanyaan, ternyata
juga telah gagal mewujudkan kesejahteraan umat manusia lahir bathin. Keangkuhan
sains Barat untuk menguasai dan menaklukkan alam justru telah menimbulkan berbagai
bencana bagi umat manusia yang belum ditemukan solusinya. Dengan senjata ilmu pengetahuan dan teknologi
modern ciptaan sains Barat sekuler, umat manusia memang telah berhasil
“menguasai dan menaklukkan” alam untuk mewujudkan segala kemudahan, kesenangan,
dan “kesejahteraan hidup” umat manusia. Dengan teknologi super modern, manusia
memang seolah-olah telah mampu mengakali, bahkan “menyamai” kekuasaan
Tuhan. Manusia telah mampu menduduki
bulan, menciptakan sarana komunikasi dan transportasi modern, sehingga manusia
dapat menjadi “maha tahu” apapun yang terjadi di dunia hanya dengan memutar
televisi, mengakses internet dikomputer atau handphone, dan sebagainya. Tetapi
dibalik segala kemajuan tersebut, apa yang terjadi? Sebagai akibat keangkuhan sains Barat sekuler yang
mengabaikan nilai-nilai religiousitas, nilai-nilai Ketuhanan, dunia dihadapkan
oleh bermacam-macam bencana, baik bencana alam maupun sosial, seperti terjadinya krisis ekologi yang luar biasa
menyerang dunia dari banyak arah[3],
pemanasan global dan perubahan iklim, degradasi moral yang mengakibatkan
peningkatan kwalitas dan kwantitas berbagai penyakit sosial, seperti
kriminalitas, prostitusi, sex bebas yang mengakibatkan HIV/AIDS, dan
sebagainya.
Kegelisahan dan
skeptisme terhadap Sains Barat Sekuler itu mendorong beberapa ilmuwan mulai
menoleh kepada paradigma lain, yaitu paradigma religiusitas sains, suatu
paradigma yang berupaya mempertemukan rasionalitas sains Barat dengan
religiusitas yang dimiliki oleh agama-agama dunia. Sebagian ilmuwan mulai
melirik hal-hal di luar jangkauan indra manusia, yang ada dalam pengetahuan
transcendental, seperti Weda, Bible, Quran, dan sebagainya[4]. T.D. Sings, misalnya, seorang saintis dari
the University of California, Irvine, USA, menyebutkan bahwa banyak ilmuwan dan
teologis telah mempertimbangkan dalam-dalam mengenai hubungan antara sains dan
spritualitas (religiusitas). Mereka merasakan perlunya sistesis antara keduanya
untuk menjawab banyak permasalahan hidup yang kompleks. Menurutnya, banyak
pemikir hebat juga terilhami secara mendalam dengan memusatkan perhatian mereka
kepada sistesis ini[5].
Problemnya
sekarang adalah kebenaran sains dan agama justru berawal dari kutub yang
berbeda. Kebenaran sains berawal dari keragu-raguan terhadap suatu fenomena,
sebaliknya kebenaran agama bersumber dari suatu keyakinan akan sabda Tuhan. Bahkan
sejarah telah mencatat, bagaimana pergulatan antara sains dan agama telah
diwarnai oleh perdebatan, keringat, darah, bahkan nyawa[6].
Dalam kondisi demikian, mungkinkah sains dan agama dapat dipertemukan? Untuk
mengkaji isu sentral ini, maka dalam tulisan ini akan di kaji mengenai hubungan
antara sains dan agama dalam perkembangan sejarah, kemudian akan ditunjukkan
mengenai konsep Hindu tentang sains menyangkut hakekat, tujuan, dan penerapan
sains. Mengingat bahwa Hindu sesungguhnya merupakan konsep keagamaan yang
sangat luas yang di dalamnya terdapat banyak sekte dengan banyak sekali kitab
suci[7],
maka secara jujur diakui bahwa tulisan ini tidaklah mungkin dapat mengkaji
sains dari sudut pandang “Hinduisme “
yang sangat luas itu. Dengan demikian
sangat terbuka adanya persfektif Hindu yang lain tentang sains dari apa yang
tersaji dalam tulisan ini.
BACA SELENGKAPNYA
DALAM:
I Ketut Sudantra, 2010, "Religiousitas Sains dalam Perspektif
Hindu", dalam: Sutoyo et.al, Religiousitas
Sains Meretas Jalan Menuju Peradaban Zaman (Diskursus Filsafat Ilmu),
Sulusi LPP SDM bekerjasama dengan UB Press, Malang, hlm. 148-164
· HUBUNGAN
ANTARA SAINS DAN AGAMA
· SAINS
DALAM PERSPEKTIF HINDU
- Hakikat Sains: Perwujudan Tuhan Yang Maha Kuasa
- Tujuan Sains: Mewujudkan Kesejahteraan Lahir-bathin
- Penerapan Sains: Bekerja dengan Dilandasi Dharma
[2]
Koento Wibisono, 1992, “Dampak Teknologi
Terhadap Kebudayaan”, dalam Rusli M Karim dan Ridjal Fausi (ed): Dinamika
Ekonomi dan Iptek dalam Pembangunan, Tiara Wacana, Yogyakarta,
hlm.104
[3]
Mary Evelyin Tucker & John A Grim, 2003, Agama, Fil;safat, & Lingkungan Hidup, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
hlm. 7.
[4]
T.D. Singh, 2004, Tujuh Peraih Nobel
Tentang sains dan Spritualitas (alih bahasa: I Gusti Ngurah Pranawa),
Yayasan Institut Bhaktivedanta Indonesia,
hlm. 12.
[5] Ibid., hlm.15.
[6]Sejarah,
misalnya, mencatat bahwa pada abad ke-17
Galileo disiksa dan nyaris diganjar hukuman mati oleh pihak gereja yang
mengutuk pemikiran-pemikiran baru Galileo tentang alam semesta. Lihat Made
Wardhana, dalam T.D.Sings, op.cit.,
hlm. 12.
[7]Menurut
Robert C. Zaehner, “Hindu” adalah kata Parsi untuk “India”,
sehingga menurutnya “Hinduisme” adalah isme dari India. Dikatakannya, Hinduisme
merupakan suatu kesatuan keagamaan yang luas dengan ikatan yang tidak erat.
Lihat: Robert C. Zaehner, 1992, “Kebijaksanan
Dari Timur, Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme”, Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta,
hlm.ix-xi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar